Minggu, 14 Juni 2009

MALPRAKTEK DITINJAU DARI HUKUM ADMINISTRASI

MALPRAKTEK DITINJAU DARI HUKUM ADMINISTRASI



BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Indonesia adalah sebuah negara hukum, hal tersebut telah ditegaskan dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Dalam sebuah negara hukum terdapat pengakuan terhadap jaminan hak-hak asasi manusia yang secara tegas dilindungi oleh konstitusi. Tujuan dari hukum adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat. Selain itu hukum bertujuan mengatur masyarakat agar bertindak tertib dalam pergaulan hidup secara damai, menjaga agar masyarakat tidak bertindak anarki dengan main hakim sendiri dan menjamin keadilan bagi setiap orang akan hak-haknya sehinggga tercipta masyarakat yang teratur, bahagia, dan damai.[1]

Dalam pembukaan UUD 1945 dijelaskan bahwa salah satu tujuan negara Indonesia adalah melundungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Untuk mencapai tujuan tersebut pemerintah berupaya secara maksimal untuk memberikan perlindungan terhadap seluruh warga negara dalam berbagai bidang kehidupan. Selain tujuan tersebut, pemerintah juga berkewajiban melaksanakan pembagunan diberbagai bidang dalam rangka mewujudkan kesejahterahan nasional. Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan yang ditujukan sebagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka melaksanakan pembangunan dalam bidang kesehatan.

Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan dibentuk untuk menggantikan Undang-Undang No. 9 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Kesehatan yang dianggap telah usang dan tidak lagi memenuhi kebutuhan akan pengaturan tentang kesehatan pada era dimana kemajuan Ilmu Pengetahuan dan teknologi kedokteran telah maju demikian peastnya. Dalam bagian pertimbangan Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dikatakan bahwa pembangunan kesehatan diarahkan untuk mempertinggi derajat kesehatan, yang besar artinya bagi pengembangan dan pembinaan sumber daya manusia Indonesia dan sebagai modal bagi pelaksanaan pembangunan nasional yang pada hakikatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia.[2] Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah berkewajiban untuk melaksanakan program dalam rangka memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat.

Untuk mewujudkan pelayanan kesehatan memuaskan kepada masyarakat yang memberikan perlindungan hukum, maka pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran. Undang-undang tersebut diharapkan memberikan perlindungan kepada masyarakat, mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan, dan memberikan kepastian hukum.

Dalam undang-undang No. 29 Tahun 2004 dikatakan bahwa Surat izin praktik adalah bukti tertulis yang diberikan pemerintah kepada dokter dan dokter gigi yang akan menjalankan praktik kedokteran setelah memenuhi persyaratan.[3] Berkaitan dengan masalah malpraktek, instrument perizinan yang diatur dalam hukum administrasi negara mempunyai hubungan dengan timbulnya perbuatan malpraktek administrasi.

Oleh karena ituinstrumen perizinan menjadi salah satu faktor yang penting ketika seorang dokter akan membuka praktek kesehatan, karena instrument perizinan tersebut dapat dijadikan sebagai bukti bahwa dokter yang bersangkutan mempunyai kompeten untuk menjalankan praktik keokterannya tersebut.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, dalam makalah ini akan dibahas beberapa masalah yang berkaitan dengan malpraktek ditinjau dari hukum administrasi, antara lain :

    1. Apa yang disebut malpraktek ditinjau dari segi hukum administrasi?
    2. Bagaimana kaitan antara pemberian izin praktek kedokteran dengan perbuatan malpraktek?

BAB II

PEMBAHASAN

MALPRAKTEK

Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu berkonotasi yuridis. Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan “praktek” mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktek berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”. Meskipun arti harfiahnya demikian tetapi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi. Pengertian malpraktek antara lain dapat dirumuskan sebagai berikut :

    • Sikap atau tindakan yang salah.
    • Pemberian pelayanan terhadap pasienyang tidak benar oleh profesi medik.
    • Tindakan yang illegal untuk memperoleh keuntungan sendiri sewaktu dalam posisi kepercayaan..

Inti dari pada perumusan malpraktek tersebut di atas,serta menurut hukum yang berlaku di indonesia kurang lebih adalah sebagai berikut : malpraktek adalah perbuatan dokter/tenaga kesehatan lainnya pada waktu menjalankan tugas profesinya yang bertentangan atau melanggar atau tindak/kurang hati-hati memperhatikan ketentuan atau prsyaratan yang berlaku untuk setiap tingkat keadaan penyakit pasien yang ditanganinya,baik menurut paraturan perundangan maupun ukuran kepatutan atau ukuran ilmu kedokteran yang dapat di pertanggung jawabkan serta menurut ukuran profesionalitas dan menimbulkan akibat yang merugikan pasien/keluarganya.[4]

Sedangkan difinisi malpraktek profesi kesehatan adalah “kelalaian dari seseorang dokter atau perawat untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama”.

MALPRAKTEK DITINJAU DARI SISI HUKUM

Di dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga pelayan kesehatan berlaku norma etika dan norma hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical malpractice dan dari sudut pandang hukum disebut yuridical malpractice. Hal ini perlu dipahami mengingat dalam profesi tenaga perawatan berlaku norma etika dan norma hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat domain apa yang dilanggar. Karena antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang mendasar menyangkut substansi, otoritas, tujuan dan sangsi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk menentukan adanya ethical malpractice atau yuridical malpractice dengan sendirinya juga berbeda. Yang jelas tidak setiap ethical malpractice merupakan yuridical malpractice akan tetapi semua bentuk yuridical malpractice pasti merupakan ethical malpractice (Lord Chief Justice, 1893).

Untuk malpraktek hukum atau yuridical malpractice dibagi dalam 3 kategori sesuai bidang hukum yang dilanggar, yakni Criminal malpractice, Civil malpractice dan Administrative malpractice.

1. Criminal malpractice

Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice manakala perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana yakni :

  1. Perbuatan tersebut (positive act maupun negative act) merupakan perbuatan tercela.
  2. Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa kesengajaan (intensional), kecerobohan (reklessness) atau kealpaan (negligence).

Ø Criminal malpractice yang bersifat sengaja (intensional) misalnya melakukan euthanasia (pasal 344 KUHP), membuka rahasia jabatan (pasal 332 KUHP), membuat surat keterangan palsu (pasal 263 KUHP), melakukan aborsi tanpa indikasi medis pasal 299 KUHP).

Ø Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness) misalnya melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien informed consent.

Ø Criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai) misalnya kurang hati-hati mengakibatkan luka, cacat atau meninggalnya pasien, ketinggalan klem dalam perut pasien saat melakukan operasi. Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan.

2. Civil malpractice

Seorang tenaga kesehatan akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji). Tindakan tenaga kesehatan yang dapat dikategorikan civil malpractice antara lain:

a. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan.

b. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melakukannya.

c. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna.

d. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.

Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi dan dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability. Dengan prinsip ini maka rumah sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan karyawannya (tenaga kesehatan) selama tenaga kesehatan tersebut dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya.

3. Administrative malpractice

Tenaga perawatan dikatakan telah melakukan administrative malpractice manakala tenaga perawatan tersebut telah melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam melakukan police power, pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi tenaga perawatan untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin Kerja, Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta kewajiban tenaga perawatan. Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hukum administrasi.

MALPRAKTEK ADMINISTRASI

Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa malpraktek administrasi (administrative malpractice) adalah apabila perawat, dalam hal ini dokter ( pemberi jasa pelanan kesehatan ) telah melanggar hukum administrasi. Pelanggaran tehadap hukum administrasi tersebut antara lain seperti dokter tidak mempunyai Surat Izin Kerja, Surat Izin Praktek, atau melanggar batas kewenangan tenaga keperawatan.

Aspek Hukum Administrasi dalam Penyelenggaraan Praktik Kedokteran Setiap dokter/dokter gigi yang telah menyelesaikan pendidikan dan ingin menjalankan praktik kedokteran dipersyaratkan untuk memiliki izin. Izin menjalankan praktik memiliki dua makna, yaitu:

(1) izin dalam arti pemberian kewenangan secara formil (formeele bevoegdheid)

(2) izin dalam arti pemberian kewenangan secara materiil (materieele bevoegdheid).

Secara teoritis, izin merupakan pembolehan (khusus) untuk melakukan sesuatu yang secara umum dilarang. Sebagai contoh: dokter boleh melakukan pemeriksaan (bagian tubuh yang harus dilihat), serta melakukan sesuatu (terhadap bagian tubuh yang memerlukan tindakan dengan persetujuan) yang izin semacam itu tidak diberikan kepada profesi lain.

Pada hakikatnya, perangkat izin (formal atau material) menurut hukum administrasi adalah:

  1. Mengarahkan aktivitas artinya, pemberian izin (formal atau material) dapat memberi kontribusi, ditegakkannya penerapan standar profesi dan standar pelayanan yang harus dipenuhi oleh para dokter (dan dokter gigi) dalam pelaksanaan praktiknya.
  2. Mencegah bahaya yang mungkin timbul dalam rangka penyelenggaraan praktik kedokteran, dan mencegah penyelenggaraan praktik kedokteran oleh orang yang tidak berhak.
  3. Mendistribusikan kelangkaan tenaga dokter/ dokter gigi, yang dikaitkan dengan kewenangan pemerintah daerah atas pembatasan tempat praktik dan penataan Surat Izin Praktik (SIP).
  4. Melakukan proses seleksi, yakni penilaian administratif, serta kemampuan teknis yang harus dipenuhi oleh setiap dokter dan dokter gigi.
  5. Memberikan perlindungan terhadap warga masyarakat terhadap praktik yang tidak dilakukan oleh orang yang memiliki kompetensi tertentu.

Dari sudut bentuknya, izin diberikan dalam bentuk tertulis, berdasarkan permohonan tertulis yang diajukan. Lembaga yang berwenang mengeluarkan izin juga didasarkan pada kemampuan untuk melakukan penilaian administratif dan teknis kedokteran. Pengeluaran izin dilandaskan pada asas.asas keterbukaan, ketertiban, ketelitian, keputusan yang baik, persamaan hak, kepercayaan, kepatutan dan keadilan. Selanjutnya apabila syaratsyarat tersebut tidak terpenuhi (lagi) maka izin dapat ditarik kembali. Telah terjadi beberapa perubahan mendasar yang berkaitan dengan perizinan di dalam UUPK, yaitu:

a. Digunakan terminologi Surat Tanda Registrasi (STR) yang diterbitkan oleh KK, sebagai pengganti terminologi Surat Penugasan (SP).

b. Untuk mendapatkan STR pertama kali dilakukan uji kompetensi oleh organisasi profesi (dengan sertifikat kompetensi).

c. Surat Tanda Registrasi (STR) diberikan oleh KKI dan berlaku selama lima tahun serta dapat diperpanjang melalui uji kompetensi lagi.

d. Masa berlaku SIP sesuai STR. Dengan kata lain, bila masa berlaku STR sudah habis maka SIP juga habis.

Sebagai implementasi dari UUPK, telah dikeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1419/MENKES/PER/X/2005 tentang Penyelenggaraan Praktik Dokter dan Dokter Gigi untuk menata lebih lanjut masalah perizinan, termasuk aturan peralihan yang bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan yang mungkin timbul.

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Dari hasil pembahasan dalam makalah ini dapat disimpulkan bahwa :

1. Malpraktek administrasi adalah adalah apabila perawat, dalam hal ini dokter ( pemberi jasa pelanan kesehatan ) telah melanggar hukum administrasi. Pelanggaran tehadap hukum administrasi tersebut antara lain seperti dokter tidak mempunyai Surat Izin Kerja, Surat Izin Praktek, atau melanggar batas kewenangan tenaga keperawatan.

2. Adanya system perijinan bagi dokter yang akan membuka praktek adalah ditujukan untuk mencegah terjadinya penyelenggaraan praktik kedokteran oleh orang yang tidak berhak dan memberikan perlindungan terhadap warga masyarakat terhadap praktik yang tidak dilakukan oleh orang yang memiliki kompetensi tertentu.

DAFTAR PUSTAKA

Chandrawila Supriadi, Wila. Hukum Kedokteran, Cv Mandar Maju, Bandung, 2001.

Komalawati, D. Veronica, Hukum dan Etika dalam Praktek Dokter, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1989.

Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.

http://www.rsud-serang.com - rsud-serang.com

http://qsukri.blogspot.com/2007/05/susahnya-menggugat-dokter.html

http://www.



[1] Hukum dan Kebijakan Publik, (Yogyakarta: Yayasan Pembaruan Administrasi Publik Indonesia)

[2] Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.

[3] Pasal 1, Undang-Undang No. 29 Tahun 2004

[4] http://www.rsud-serang.com - rsud-serang.com

PROSEDUR PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA DI INDONESIA DAN AMERIKA

MAKALAH PERBANDINGAN HUKUM ADMINISTRASI

PROSEDUR PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA DI INDONESIA DAN AMERIKA



LATAR BELAKANG

Penegakan hukum (law enforcement) yang dilakukan dengan baik dan efektif merupakan salah satu tolak ukur keberhasilan suatu negara dalam upaya mengangkat harkat, martabat dan derajat bangsanya dalam bidang hukum, terutama dalam memberikan perlindungan hukum terhadap warganya. Agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik maka pemerintah (administrasi negara) melakukan bermacam-macam perbuatan. Dalam hukum administrasi negara, perbuatan pemerintah (Bestuurhandeling) dapat dibedakan menjadi tiga macam perbuatan, yakni[1] :

1. pembuatan peraturan perundangan yang bersifat represif maupun preventif.

2. pelayanan kepentingan umum (public service).

3. perbuatan administratif, yakni perbuatan untuk merealisir apa yang diatur dalam peraturan perundangan.

Perbuatan administratif yang dilakukan oleh penguasa adakalanya menimbulkan kerugian bagi masyarakat (administrabelle). Timbulnya kerugian atau ketidak senangan kepada pihak administrabelle ini disebabkan oleh karena hal-hal sebagai berikut :

1. keputusan organ administrasi negara/penguasa dianggap “tidak tepat“ (onjuist).

2. keputusan organ administrasi negara/penguasa dianggap “melanggar undang-undang” (onwetmatig).

3. keputusan organ administrasi negara/penguasa dianggap ”tidak bijaksana” (ondoelmatig).

4. keputusan organ administrasi negara/penguasa dianggap “melanggar hukum” (onrechmatig).

Guna menegakan negara hukum, serta untuk memperoleh administrasi negara yang sehat, patutlah apabila kepada pihak administrabelle diberikan perlindungan hukum dari perbuatan penguasa yang onjuist, onwetmatig, onrechmatig, ataupun yang ondoelmatieg. Perlindungan hukum bagi rakyat dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu perlindungan yang bersifat preventif dan perlindungan hukum yang bersifat represif.

Pada perlindungan hukum yang preventif, kepada rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapatkan bentuknya yang definitive. Jadi perlindungan preventif ini bisa digunakan sebelum adanya suatu keputusan pemerintah. Dengan demikian perlindungan hukum yang preventif ini akan mendorong pemerintah untuk lebih berhati-hati untuk mengambil/atau tidak mengambil suatu keputusan. Sebaliknya perlindungan hukum yang bersifat represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Perlindungan hukum ini digunakan bukan pada waktu sebelum dikeluarkan oleh pemerintah, melainkan setelah dikeluarkan keputusan pemerintah, dan keputusan tersebut ternyata mengakibatkan adanya sengketa yang memerlukan penyelesaian.

Untuk sarana perlindungan hukum yang bersifat represif, di Indonesia di kenal adanya beberapa badan yang dapat dikelompokan menjadi[2] :

1. Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara

2. pengadilan dalam lingkungan peradilan umum

3. instansi pemerintah yang merupakan lembaga banding administrasi

4. badan-badan khusus.

Fungsi Peradilan Tata Usaha Negara adalah untuk menyelesaikan atau memutus sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara sebagai akibat dikeluarkannya KTUN yang dianggap melanggar hak orang atau badan hukum perdata. Kemungkinan timbulnya sengketa tersebut berkaitan dengan peran positif aktif pemerintah dalam kehidupan masyarakat dalam suatu Moderne Rechstaat sebagai implikasi dianutnya model welfare state.

Di dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dinyatakan bahwa untuk menyelesaikan sengketa tata usaha negara diwajibkan diselesaikan melalui Upaya Administrassi terlebih dahulu sebelum melalui gugatan ke Pengadilan. Upaya administratisi merupakan suatu prosedur yang penyelesaian sengketa administrasi yang dilakukan dilingkungan pemerintahan sendiri (bukan oleh badan peradilan yang bebas). Upaya Administrasi terdiri dari prosedur keberatan dan prosedur banding administrasi.

Seperti halnya di Indonesia, di Amerika serikat agar putusan pemerintah maupun tindakan-tindakannya di bidang administratif akan selalu didasarkan pada kaidah-kaidah hukum sesuai dengan “the rule of law”, maka jaminan bagi rakyat/warga negara diwujudkan dalam prosedur yang disebut “due process” maupun melalui control yudisial (judicial control on the administration) yang lazim disebut sebagai “judicial review”[3]. Prosedur “due process” masih berlangsung di dalam lingkungan intern pemerintahan (administrasi) seperti Upaya Administrasi yang ada Indonesia, sehingga merupakan suatu control intern (internal control). Sedangkan “judicial review” merupakan suatu control ekstern (external control), sebab dilakukan oleh badan-badan peradilan yang berada diluar struktur pemerintahan/administrasi.

Dengan adanya sarana perlindungan hukum bagi masyarakat (Administrabelle) yang disediakan oleh negara baik di Indonesia maupun di Amerika, diharapkan dapat terciptakan kepastian hukum bagi masyarakat dan dapat mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa.

RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, dalam makalah ini akan membahas tentang masalah “Perbandingan Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara di Indonesia dan Amerika ?”

SISTEMATIKA PENULISAN

Dalam makalah perbandingan prosedur penyelesaian sengketa tata usaha negara di Indonesia dan Amerka sistematika penulisannya adalah sebagai berikut :

Ø Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara Di Amerika

  • Hukum Administrasi Amerika Serikat
  • Scope of administrative Authority
  • Sengketa Tata Usaha Negara Di Amerika Serikat
  • Prosedur penyelesaian sengketa
    • Due Process
    • Judicial Review
    • Hearing

Ø Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara Di Indonesia

  • Hukum Administrasi Negara di Indonesia
  • Sengketa Tata Usah Negara Di Indonersia
  • Sengketa Tata Usah Negara Di Indonersia
  • Prosedur Penyelesaian Sengketa
    • Upaya Administrasi
    • Gugatan ke Pengadilan

Ø Kesimpulan

PEMBAHASAN

PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA DI AMERIKA

Sebelum membahas masalah tentang prosedur bagaimana penyelesaian tata usaha negara di amerika, dalam makalah ini terlebih dahulu akan dibahas mengenai hukum administrasi negara di amerika.

Hukum Administrasi Amerika Serikat

Hukum Amerika Serikat pada awalnya diambil sebagian besar dari common law dari sistem hukum Inggris, yang berlaku pada saat Perang Kemerdekaan. Namun, hukum tertinggi di negara ini adalah Konstitusi Amerika Serikat dan, menurut Klausa Supremasi Konstitusi, hukum-hukum yang diberlakukan oleh Kongres dan perjanjian-perjanjian yang mengikat Amerika Serikat. Semua ini merupakan dasar bagi undang-undang federal di bawah konstitusi federal di Amerika Serikat, yang membentuk batas-batas yurisdiksi undang-undang federal dan undang-undang di ke-50 negara bagian AS dan wilayah-wilayahnya[4].

Justice Breyer mendefinisikan hukum administrasi negara terbagi dalam empat bagian, yaitu peraturan dan prinsip yang :

a. Mengatur kekuasaan dan struktur dari agen administrasi.

b. Menetapkan prosedur formal yang dikerjakan oleh agen administrasi.

c. Menentukan kebenaran keputusan agen administrasi.

d. Mengatur peran pengadilan dalam meninjau ulang dan yang berhubungan dengan agen administrasi.

Agen pemerintah federal Amerika Serikat mempunyai kekuasaan untuk adjudikatif (menimbang dan memutus), legislative (membuat undang-undang), dan menegakan hukum dalam area khusus dari pendelegasian kekuasaan.

Scope of administrative Authority

Kekuasaan dari Agen Pemerintahan berasal dari undang-undang organik mereka dan harus sesuai dengan batasan yang diatur oleh konstitusi dan tujuan legislative. Secara umum, administrative agencie tidak mempunyai kewenangan untuk menetapkan suatu peraturan dimana :

a. Peraturan tersebut bukan merupakan pendelegasian dari konstitusi.

b. Undang-undang organik tidak mengaturnya dengan tegas.

c. Konggres menetapkan peraturan secara terpisah.

d. Peraturan yang tidak berdasarkan penemuan fakta.

e. Peraturan yang tidak untuk pelayanan publik.

f. Peraturan yang berada diluar undang-undang agen tersebut seperti yang disebutkan dalam undang-undang organik[5].

Sengketa Tata Usaha Negara Di Amerika Serikat

Konflik yang terjadi di lingkungan aparatur pemerintahan umumnya disebabkan adanya ketidakjelasan kewenangan yang dimiliki oleh para aparatur pemerintahan terutama wewenang pembuatan keputusan-keputusan administrasi yang rawan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Terjadinya sengketa tata usaha negara adalah apabila putusan-putusan pemerintah dan tindakan-tindakan pemerintah di bidang administratif tidak didasarkan pada hukum atau putusan dan tindakan tersebut menimbulkan kerugian bagi masyarakat.

Prosedur penyelesaian sengketa

Jaminan bagi rakyat/warga negara apabila mendapat kerugian dari tindakan dan putusan pemerintah diwujudkan dalam prosedur “due procces” dan melalui control yudisial atau lazim disebut “judicial review”. Selain itu juga terdapat prosedur angket public atau “hearing”. Pengertian pemerintah disini mencakup kekuassaan eksekutif yang berada dibawah pimpinan Presiden dengan berbagai Kementrian yang merupakan cabinet dan disamping itu meliputi pula apa yang disebut sebagai “administrative agencies”, yang memang dibentuk secara khusus oleh konggres yang tidak merupakan suatu organ peradilan ataupun organ legislative tetapi yang diserahi tugas-tugas pemerintahan sebagaimana dicantumkan dalam statute pembentukannya.

a. Due Process

Due Procces adalah prinsip bahwa pemerintah harus menghormati semua hak yang sah berdasarkan undang-undang yang dimiliki oleh setiap orang berdasarkan hukum yang berlaku. Dalam hukum Amerika Serikat (U.S.), prinsip ini memberi individu kemampuan untuk menegakkan hak-hak mereka terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pemerintah.[6] Prosedur due process masih berlangsung di dalam lingkungan intern pemerintahan (administrasi) sehingga merupakan suatu kontrol intern (internal control).

Prosedur “due process” bertujuan untuk melindungi hak rakyat/warganegara sebab pengertian “due process” ini didasarkan pada prinsip bahwa setiap putusan pemerintah yang bersifat suatu pembatasan atau pengurangan terhadap hak-hak individual dari dari rakyat/warganegara haruslah ditempuh melalui prosedur kontradiktoir.

b. Judicial Review

Judicial review hanya dapat dilakukan oleh badan-badan peradilan (court) saja, dalam arti badan-badan peradilan yang termasuk dalam satu hierarkhi peradilan umum sebab system ini tidak mengenal adanya hierarkhi peradilan administrasi tersendiri. Peradilan dilakukan oleh lembaga yudikatif yaitu MA (Supreme Court).

Judicial review merupakan upaya terakhir manakala segala prosedur administrative telah ditempuh dan ternyata masih belum memuaskan para pihak yang bersangkutan. Kekuasaan yudikatif di Amerika Serikat melakukan Peradilan terhadap semua perkara kecuali soal impeachment[7]. Semua perkara yang terjadi termasuk sengketa tata usaha negara dalam hal ini juga merupakan kompetensi atau wewenang dari pengadilan umum.

Dalam judicial review, hakim mempunyai wewenang untuk memeriksa segala persoalan yang berkaitan dengan masalah hukum, menafsirkan ketentuan-ketentuan konstitusional maupun perundang-undangan dan menentukan arti maupun penerapan dari tindakan-tindakan yang dilakukan oleh “administrative agencies”.

Kontrol yang dilakukan hakim dalam judicial review itu meliputi juga putusan-putusan atau produk pemerintah yang bersifat mengatur (reglementer) ataupun yang bersifat perseorangan (individual). Produk pemerintah yang bersifat mengatur tersebut adalah peraturan yang berlaku untuk umum. Sedangkan peraturan yang bersifat perseorangan atau individual biasanya berbentuk suatu ketetapan. Tetapi control hakim tidak boleh memasuki ruang lingkup yang termasuk dalam wewenang diskresioner pemerintah, dan harus berhenti sampai pada aspek legalitasnya saja dari suatu tindakan pemerintah.

c. Hearing (Prosedur Angket Publik)

Prosedur Hearing atau Prosedur Angket Publik berlaku baik didalam pengeluaran putusan-putusan yang berlaku untuk umum maupun putusan-putusan yang bersifat individual.

Dalam hal putudan-putusan yang bersifat berlaku untuk umum (reglementer) maka prosedur angket public ini dimaksudkan agar public/masyarakat dapat berpartisipasi dalam suatu peraturan umum. Prosedur mana dapat dikesampingkan oleh “administrative agency” yang bersangkutan apabila dianggapnya bahwa penggunaan prosedur itu tidak perlu atau tidak praktis atau justru bertantangan dengan kepentingan umum. Sedangkan untuk putusan-putusan yang berlaku individual, maka rangkaian prosedur itu meliputi penentuan tenggang waktu untuk mengadakan angket public, pemberian informasi kepada public, syarat-syarat tidak berpihaknya pemerintah, dan sebagainya. Apabila putusan itu bersifat pemberian atau pencabutan izin, maka kewajiban untuk mengadakan prosedur kontradiktoir merupakan syarat mutlak.

PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA DI INDONESIA

Hukum Administrasi Negara di Indonesia

Hukum Administrasi Negara adalah sekumpulan peraturan yang mengatur hubungan antara administrasi Negara dengan warga masyarakat, dimana administrasi Negara diberi wewengang untuk melakukan tindakan hukumnya sebagai implementasi dari polcy suatu pemerintahan[8]. Atau bias juga diartikan bahwa Hukum Administrasi Negara adalah Hukum yang mengatur aparat atau gabungan jabatan-jabatan yang berada dibawah pemerintah melaksanakan tugas yang tidak ditugaskan kepada badan-badan pengadilan dan legislative.

Cakupan hukum administrasi Negara :

  • Mengatur sarana penguasa untuk mengatur dan mengendalikan masyarakat
  • Mengatur cara-cara warga negara berpartisipasi dalam proses pengaturan dan pengendalian
  • Perlindungan hukum bagi rakyat
  • Menetapkan norma-norma fundamental bagi penguasa untuk pemerintahan yang baik[9].

Sengketa Tata Usah Negara Di Indonersia

Sengketa Tata Usaha Negara (sengketa TUN) menurut pasal 1 angka 5 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat Tata Usah Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada pasal 3 Undang-Undang No. 5 tahun 1986 diatur bahwa apabila badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan keputusan Tata Usaha Negara.

Jadi, unsur sengketa Tata Usaha Negara adalah :

a. Subjek atau yang bersengketa adalah Orang ata Badan Hukum Perdata disatu pihak dan Badan atau Pejabat TUN di lain pihak.

b. Objek senketa adalah Keputusan yang dikeluarkan Badan atau Pejabat TUN.

Obyek sengketa di PTUN adalah Keputusan tata usaha negara sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 3 dan Keputusan fiktif negatif berdasarkan Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004.

Keputusan Tata Usaha Negara :

Pengertian Keputusan tata usaha negara menurut pasal 1 angka 3 uu No. 5 Tahun 1986 UU No. 9 Tahun 2004 ialah Suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkret, individual, final, yang menimbulkan akibat hukum bagi Seseorang atau Badan Hukum Perdata. Dari rumusan keputusan tersebut di atas, dapat ditarik unsur-unsur yuridis keputusan menurut hukum positip sebagai berikut :

1) Suatu penetapan tertulis.

2) Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat tata usaha negara.

3) Berisi tindakan hukum tata usaha negara.

4) Bersifat konkret, individual dan final.

5) Menimbulkan akibat hukum bagi Seseorang atau Badan Hukum Perdata.

Keputusan Tata Usaha Negara Fiktif Negatif

Obyek sengketa PTUN termasuk keputusan tata usaha Negara yang fiktif negatif sebagai mana dimaksud Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004, yaitu :

1) Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara.

2) Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagai mana ditentukan dalam peraturan perundang- undangan dimaksud telah lewat, maka badan atau penjabat tata usaha negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud.

3) Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu maka setelah lewat jangka waktu 4 bulan sejak diterimanya permohononan, badan atau penjabat tata usaha negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan.

Jadi jika jangka waktu telah lewat sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan atau setelah lewat empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat tata usaha negara itu tidak mengeluarkan keputusan yang dimohonkan, maka Badan atau Pejabat tata usaha negara tersebut dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.

Sikap pasif Badan/Pejabat tata usaha negara yang tidak mengeluarkan keputusan itu dapat disamakan dengan keputusan tertulis yang berisi penolakan meskipun tidak tertulis. Keputusan demikian disebut keputusan fiktif-negatif. Fiktif artinya tidak mengeluarkan keputusan tertulis, tetapi dapat dianggap telah mengeluarkan keputusan tertulis. Sedangkan negatif berarti karena isi keputusan itu berupa penolakan terhadap suatu permohonan. Keputusan fiktif negatif merupakan perluasan dari keputusan tata usaha negara tertulis yang menjadi objek dalam sengketa tata usaha negara.

Sengketa Tata Usaha Negara timbul karena berlakuna Keputusan Tata Usaha Negara. Keputusan TUN merupakan causa prima bagi tibulnya sengketa TUN. Menurut pasal 2 undang-undang No.5 tahun 1986 ditetapkan tidak termasuk dalam keputusan TUN yang tidak dapat dilakukan upya administrative, antara lain :

1. Keputusan TUN yang merupakan perbuatan hukum perdata.

2. Keputusan TUN yang merupakan pengaturan yang bersifat umum.

3. Keputusan TUN yang masih memerlukan persetujuan.

4. Keputusan TUN yang dikeluarkan berdasarkan KUHP atau KUHAP, atau peraturan perundangan lain yang bersifat hukum pidana.

5. Keputusan TUN yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan.

6. Keputusan TUN mengenai Tata Usaha ABRI.

Prosedur Penyelesaian Sengketa

Di Indonesia perlindungan hukum terhadap warga negara terhadap sengketa Tata Usaha Negara dapat dilakukan melalui upaya administrasi dan gugatan ke Pengadilan.

a. Upaya Administrasi

Dilihat dari sisi perlindungan hukum bagi rakyat, maka upaya administrative ini dapatlah dimasukan dalam kelompok sarana perlindungan hukum yang represif, yakni merupakan sarana perlindungan hukum bagi rakyat yang dapat digunakan setelah terjadi sengketa Tata Usaha Negara.

Di dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1986, upaya administrasi ini diatur dalam pasal 48 yang menentukan sebagai berikut :

a) Dalam hal suatu badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administrative sengketa TUN tertentu, maka sengketa Tata Usaha Negara Tersebut diselesaikan melalui upaya administrative yang tersedia.

b) Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa TUN sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya administrative yang bersangkutan telah digunakan.

Upaya administrative ini merupakan suatu prosedur yang ditentukan dalam suatu peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan sengketa TUN yang dilaksanakan di lingkungan pemerintahan sendiri (bukan oleh badan peradilan yang bebas). Upaya administrasi ini terdiri dari prosedur keberatan dan prosedur banding administrative.

a) Prosedur Keberatan Administratif

Apabila menurut peraturan perundang-undangan yang bersangkutan (peraturan dasarnya) diatur bahwa seseorang yang terkena suatu Keputusan TUN yang tidak dapat ia setujui boleh mengajukan keberatan kepada instansi (Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara) yang mengeluarkan keputusan tersebut.

b) Banding Administratif

Apabila penyelesaian sengketa TUN itu harus diselesaikan oleh instansi atasan atau instansi lain yang mengeluarkan keputusan.

b. Gugatan Ke Pengadilan

Berdasarkan pasal 53 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 bahwa seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi.

Dengan demikian apabila seseorang atau badan hukum perdata setelah menempuh upaya administrative yang tersedia ternyata belum merasa puas, apabila ia ingin mengajukan gugatan harus dialamatkan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.

Untuk mengajukan gugatan diperlukan alasan-alasan yang mendasarinya terhadap Keputusan tata usaha negara yang digugat, pengadilan memerlukan dasar pengujian apakah keputusan tata usaha negara tersebut rechtmatig (absah) atau tidak. pasal 53 ayat 2 UU No. 5 Tahun1986 UU No. 9 Tahun 2004 menggariskan alasan mengajukan gugatan bagi penggugat yang merupakan dasar pengujian oleh pengadilan.

Alasan mengajukan gugatan menurut Pasal 53 ayat 2 UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 adalah :

a) Keputusan tata usaha negara tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b) Keputusan tata usaha negara tersebut bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintah yang Baik (AAUPB).

Aspek yang bertentangan itu menyangkut wewenang, prosedur, dan substansi keputusan tata usaha negara tersebut.

Upaya Hukum Terhadap Keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara

Terhadap para pihak yang merasa tidak puas atas putusan yang diberikan pada tingkat pertama (PTUN), berdasarkan ketentuan Pasal 122 UU No. 5 Tahun1986 dinyatakan bahwa terhadap putusan PTUN tersebut dapat dimintakan pemeriksaan banding oleh Penggugat atau Tergugat kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN).

Kemudian Terhadap putusan pengadilan tingkat Banding dapat dilakukan upaya hukum Kasasi ke Mahkamah Agung RI.Dengan demikian sama halnya dengan ketiga peradilan yang lain, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, dan Peradilan Militer, maka Peradilan Tata Usaha Negara juga berpuncak pada Mahkamah Agung.

Sementara itu apabila masih ada diantara para pihak masih belum puas terhadap putusan Hakim Mahkamah Agung pada tingkat Kasasi, maka dapat ditempuh upaya hukum luar biasa yaitu Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung RI.

KESIMPULAN

Dari pembahasan makalah tersebut diatas dapat diambil kesimpulan bahwa dalam penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara yang terjadi di Indonesia dan di Amerika Serikat terdapat persamaan dan perbedaan-perbedaan. Persamaan-persamaan tersebut antara lain adanya prosedur penyelesaian sengketa yang dilakukan secara internal dilingkungan pemerintahan (internal control) dan terdapat prosedur penyelesaian sengketa yang dilakukan melalui lembaga peradilan yang mandiri.

Di amerika penyelesaian secara internal dinamakan sebaga prosedur “due process”, sedangkan di Indonesia adalah adanya upaya administrative. Prosedur due proses memberi individu kemampuan untuk menegakkan hak-hak mereka terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pemerintah. Upaya administratif yang terdapat di Indonesia ini terdiri dari prosedur keberatan dan prosedur banding administrative.

Penyelesaian sengketa yang dilakukan menggunakan jalur peradilan untuk melindungi hak-hak masyarakat yang dirugikan oleh perbuatab pemerintah di Amerika dikenal dengan prosedur “Judicial Review”. Dalam judicial review, yang diperikasa olh hakim adalah segala persoalan yang berkaitan dengan masalah hukum, menafsirkan ketentuan-ketentuan konstitusional maupun perundang-undangan dan menentukan arti maupun penerapan dari tindakan-tindakan yang dilakukan oleh “administrative agencies”. Produk-produk pemerintah yang dapat diajukan untuk judicial review pada sengketa tata usaha Negara di Amerika termasuk putusan-putusan yang bersifat mengatur (reglementer) ataupun yang bersifat perseorangan (individual).

Prosedur penyelesaian sengketa melalui badan peradilan yang berlaku di Indonesia adalah dengan melakukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Dalam mengajukan gugatan hanya keputusan tata usaha Negara yang bersifat ketetapan (beshicking). Selain itu terdapat perluasan dari keputusan tata usaha negara tertulis yang menjadi objek dalam sengketa tata usaha Negara yaitu Keputusan fiktif negative.

Di Amerika selain prosedur “due process” dan “judicial Review” juga terdapat prosedur angket public atau “hearing”.

D A F T A R P U S T A K A

  • Muchsan, S.H., Peradilan Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta, 1981.
  • Prof. Dr. B. Lopa, S.H. dan Dr. A. Hamzah, S.H., “Mengenal Peradilan Tata Usaha Negara”, Sinar Grafika, Jakarta, 1993.
  • Y. Sri Pudyatmoko, S.H. dan W. Riawan Tjandra, S.H., “Peradilan Tata Usaha Negara sebagai Salah Satu Fungsi Kontrol Pemerintah”. Atma Jaya, Jogjakarta. 1996
  • Muchsan, S.H., “Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah Dan Peradilan Tata Usaha Negara Di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 2000.
  • SF Marbun, S.H., dan Moh. Mahfud, S.H., “Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara”, Liberty, Yogyakarta, 2006.
  • Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.




[1] Muchsan, S.H., Peradilan Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta. hal. 2

[2] Y. Sri Pudyatmoko, S.H. dan W. Riawan Tjandra, S.H., “Peradilan Tata Usaha Negara sebagai Salah Satu Fungsi Kontrol Pemerintah”. Atma Jaya, Jogjakarta. 1996. hal. 18

[3] Prof. Dr. B. Lopa, S.H. dan Dr. A. Hamzah, S.H., “Mengenal Peradilan Tata Usaha Negara”, Sinar Grafika, Jakarta, 1993. hal.107

[4] http://dionbarus.wordpress.com/2008/07/09/sistem-hukum-di-amerika-serikat/

[5] http://en.wikipedia.org/wiki/ United States administrative law

[6] http://en.wikipedia.org/wiki/Due_Procces

[7] SF Marbun, S.H., dan Moh. Mahfud, S.H., “Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara”, Liberty, Yogyakarta, 2006. Hal. 203

[8] Slide Kuliah Perbandingan Hukum Administrasi

[9] Slide Kuliah Hukum Administrasi Negara